"Kata Tuhan buat saya, tidak lebih dari ekspresi dan produk kelemahan manusia, Alkitab adalah kumpulan tulisan-tulisan berharga, tapi tetap masih merupakan legenda primitif yang agak kekanak-kanakan."
"Ilmu tanpa agama cacat, agama tanpa ilmu buta" (Albert Einstein)

Metafisika dibalik Fisika

Metafisika belum begitu jelas dibedakan dengan fisika. Secara etimologis, metafisika berasal dari bahasa Yunani, meta ta fisika yang artinya menurut louis O Katsoff ialah hal-hal yang terdapat dibalik fisika. Pada masa sekarang, metafisika dipahami sebagai bagian dari filsafat yang mempelajari dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hakekat sesuatu, diluar hal-hal yang bersifat fisika.

Menurut Cristian Wolf (1679-1754), metafisika dibedakan menjadi dua, yaitu metafisika generalis dan spesialis. Metafisika generalis membahas mengenai yang "ada" atau yang "mengadakan", yang ini dikenal dengan Ontologi.
Cakupan dan bahasan metafisika generalis, secara umum meliputi :
1. yang ada (being)
2. kenyataan (reality)
3. eksistensi (existence)
4. esensi (essence)
5. substansi (substance)
6. materi (matter)
7. bentuk (form)
8. perubahan (change)
9. sebab akibat (causality)
10. hubungan (relation) Sedangkan metafisika spesialis terbagi menjadi :
1. antropologi, yang menelaah hakekat manusia, tentang "diri", tentang hubungan jiwa dan raga.
2. kosmologi, yang membahas asal-usul alam semesta dan hakekat sebenarnya
3. teologi, membahas mengenai "Tuhan" secara rasional.

Metafisika dan Ilmu

Metafisika ternyata mendapat penentangan dari beberapa ilmuwan, antara lain adalah yang menganut paham positivisme logis dengan menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna. Alfred J. Ayer menyatakan bahwas sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filsuf sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya. Problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu (pseudo-problems), artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab. Berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut, Katsoff menyatakan bahwa agaknya Ayer berupaya untuk menunjukkan bahwa natutalisme, materialisme, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Ayer menunjang argumentasinya dengan membuat criterion of verifiability atau keadaan dapat diverifikasi. Penentang lain Ludwig Wittgenstein menyatakan bahwa metafisika bersifat the Mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan (inexpressible) ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstein menyatakan terdapat tiga persoalan metafisika,

(1) subjek, dikatakannya bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia,
(2) kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian, dan
(3) Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia.
Namun pada kenyataannya banyak ilmuawan besar, terutama Albert Einstein, yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya. Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas Kuhn terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, yakni ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika. Misalnya adalah, upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh paradigma keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah membutuhkan paradigma baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil permenungan metafisik yang dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intutitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan (peluang-peluang) konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis, dan paradigma baru untuk memecahkan masalah yang ada.

Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah persinggungan antara metafisika dan/atau ontologi dengan epistemologi. Dalam metafisika yang mempertanyakan, apakah hakikat terdalam dari kenyataan? yang di antaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka muncullah paham materialisme. Sedangkan dalam epistemologi yang dimulai dari pertanyaan, bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?, yang dijawab salah satunya oleh Descartes, bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal, maka muncullah rasionalisme. John Locke yang menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme, dan lainnya. Berbagai perdebatan dalam metafisika mengenai realitas, ada-tiada, dan lainnya sebagaimana telah dikemukakan di depan yang telah melahirkan berbagai pandangan yang berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal. Ketika pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistemologis atau dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan ilmu pengetahuan akan menghasilkan percabangan disiplin ilmu baru (Kennick).

Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan mencipatakn terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang brersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu (need for curiosity) yang tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (first principle) sebagai kebenaran yang paling akhir, misalnya adalah kepastian ilmiah dalam metode skeptis Descartes, ia hanya dapat diperoleh jika kita bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito Ergo Sum).

Salah satu contoh sebuah karya yang mendasarkan pendapatnya dengan terlebih dahulu melalui penalaran metafisis adalah bukunya Yasraf Amir Piliang (2004), ia menyatakan, bahwa yang dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim.

Yasraf menyatakan bahwa dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan; kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos; dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama, bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua, tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara.

Ekonomi pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya, kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek kebudayaan. Pendapat Yasraf tersebut didahului oleh penalaran metafisis atas realitas.
Haidar Baqir, Filsafat Islam, Mizan, Jakarta, 2005 hlm. 72


Tidak ada komentar:

Posting Komentar